Bandar Udara Internasional Minangkabau adalah pintu gerbang masuknya Minangkabau dari berbagai macam orang baik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri
Hari
senin siang. Matahari menggantung di langit dengan penuh semangatnya. Bandara
Internasional Minangkabau menyapa di dalam teriknya hari ini. Kami mendarat
sekitar pukul 13.00. Saat mendaratkan kedua kaki di bumi Minangkabau ini, perjalanan
untuk menguak kisah yang terlupakan sudah menanti. Salah satu tonggak
penyeberan agama Islam dari bumi Minangkabau, Syeikh Burhanudin. Kisahnya
sedikit terlupakan. Bahkan juga, tidak sedikit masyarakat Minang yang belum
mendengar namanya. Mayoritas mendengar nama Imam Bonjol. Syeikh Burhanudin,
ketika mendengar namanya tidak sedikit yang mengernyitkan dahinya. Perjalanan
kami dimulai dengan mengunjungi awal kali beliau menapak di Minangkabau sebelum
ke Pariaman. Tempat tersebut bernama Pulau Anso. Menyita waktu perjalanan
sekitar satu jam untuk menggapai Pulau Anso dengan menggunakan perahu kecil
nelayan dari Pariaman.
Pulau Anso yang terletak di wilayah Pariaman. Di pulau ini Syeikh Burhanuddin menginjakkan kakinya lagi setelah belajar menimba ilmu di Tanah Serambi Mekah, Aceh.
Saat
tiba di Pariaman, kami berusaha untuk mencari seorang nelayan yang ingin
mengantar kami menuju Pulau Anso. Di Pulau Anso ini Syeikh Burhanuddin menginjakkan
kakinya lagi setelah menimba ilmu selama 30 tahun di tanah serambi mekkah,
Aceh. Hingga akhirnya beliau masuk dan di terima masyarakat Nagari Ulakan,
Minangkabau. Sebelum Ia berangkat ke Tanah Serambi Mekkah (Aceh) disini awal
mula cerita Si Pono atau Syeikh Buhanuddin.
Pada
permulaan abad ke 17 Masehi, lahirlah seorang putera Minangkabau tepatnya di
Pariangan Padang Panjang, yang bernama Pono anak dari Pampak dan Ibunya bernama
Cukuik suku Guci berasal dari Batipuh dan turun ke Pariangan Padang Panjang.
Masyarakat di kala itu telah tersusun baik, aturan negeri telah sempurna
disebabkan sekitar 250 tahun yang silam telah berdiri satu kerajaan di alam
Minangkabau dengan nama kerajaan Pagar Ruyung yang aturan adat tersusun
sempurna dan telah menjadi pegangan masyarakat serta agama yang dianut yaitu
Hindu dan Budha. Abad ke 15 Masehi agama islam telah sampai ke Minangkabau yang
dibawa oleh pedagang-pedagang dan saudagar-saudagar Arab Parsi melalui pesisir
Barat Minangkabau yang berlabuh di Tiku dan Pariaman. Tetapi agama islam tidak
bisa berkembang dengan baik oleh karena kuatnya agama sebelum islam masuk.
Ketika Pono telah beranjak dewasa, mereka pindah ke Nagari Sintuk.
Tahun
1037 H, ada seorang murid dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al Madani al-Asyhari
yang dimasyurkan dengan nama “ Alqushashi “ yang bernama “ Syeikh Yahyuddin “
beliau diamanatkan oleh gurunya Ahmad Qushashi pergi untuk mengembangkan agama
islam ke tempat yang mana dia sukai. Kemudian gurunya memberikan dua buah botol
yang satu kosong dan yang satu lagi berisi air, dimana sama beratnya air dengan
tanah setempat disitu lah mengembangkan agama islam. Akhirnya Syeikh Yahyuddin
tiba pada suatu tempat di tepi pantai Nagari Tapakis, sembari bertafakur maka
teringatlah ia akan pesan gurunya sewaktu akan meninggalkan Madinah, akhirnya
ditimbangnyalah tanah dan air yang dibawanya, dengan izin Allah Yang Maha Kuasa
air dan tanah tersebut sesuai beratnya sebagaimana amanat gurunya (Syeikh
Ahmadul Qushashi).
Syeikh
Yahyuddin mulai mengajak masyarakat setempat untuk memeluk agama islam,
kemudian datang seorang putera Minangkabau dari Pariangan Padang Panjang untuk
menemuinya tidak lain ialah si Pono. Pono mendapatkan seorang teman yang
bernama Idris suku Koto yang datang dari Tanjung Medan Ulakan. Tetapi usaha
Tuangku Madinah untuk mengembangkan agama islam tidak membuahkan hasil yang
maksimal dikarenakan sifat-sifat anak nagari sangat memegang teguh adatnya dan
tetap menganut agama lama.
Menurut
riwayat, pada suatu hari Pono melaksanakan perintah gurunya untuk menjadi Imam
sembahayang. Dengan mudah Pono lancar menguraikan segala isi yang terkandung di
dalamnya, hingga membuat gurunya heran dan tercengang merasa ta’ajub atas
karunia Tuhan yang diberikan terhadap Pono. Gurunya menyampaikan sesuatu kepada
Pono setelah kejadian yang baru ia alami, bahwa Pono mendapatkan rahmat dari
Allah untuk menjadi orang yang akan membawa umat kepada jalan yang benar (agama
islam) dan Gurunya memberikan amanat untuk meneruskan ajarannya dan melanjutkan
pelajarannya ke Tanah Aceh. Amanat sang guru pun menjadi perpisahan selamanya
dan salam terakhir kepada Pono.
Setelah
kepergian sang Guru selama-lamanya, maka Pono ingat akan pesan sang Guru untuk
melanjutkan menimba ilmu ke tanah Aceh. Akhirnya Pono membulatkan hatinya untuk
meninggalkan Nagari Sintuk yang penuh onak dan duri serta beberapa orang hendak
membunuhnya. Dalam perjalanan ia mendapatkan 4 orang teman yang tujuannya sama
yaitu ke Tanah Aceh, 4 orang tersebut ialah Datuk Maruhun Panjang (Padang
Gating), Sitarapang (Kubung Tiga Belas), Muhammad Natsir (Koto Tengah), Buyung
Mudo (Pulut-pulut Bandar). Kelima orang tersebut pergi untuk menemui Syeikh
Abdur Rauf di tanah Aceh.
Sedikit
selayang pandang tentang riwayat Syeikh Abdur Rauf, ia adalah Anak dari Ali
Fansuri, Singkil Aceh Selatan. Pada tahun 1010 H beliau berangkat ke Tanah Suci
(Mekkah) untuk belajar agama islam. Kemudian beliau belajar kepada seorang guru
bernama Syeikh Ahmadul Qushashi. Setelah menguasai ilmu Fiqih, Tauhid, Tasauf
dan Taqwim dan mendapatkan amanat dari Syeikh Ahmadul Qushashi, beliau pulang
ke tanah Aceh kembali. Amanat sang guru berisi yaitu menyebarkan ajaran agama
islam, serta sebuah nama dan sepasang baju jubbah berikut kopiah buatan anak
naga Yaman juga kitab-kitab dari Madinah untuk diberikan kepada seseorang yang
berhak menyandangnya.
Syeikh
Abdur Rauf mengetahui kedatang 5 pemuda
orang Minangkabau tersebut terutama Pono. Sebab ia mengingat pesan gurunya
sewaktu di Madinah dan begitu juga tanda-tanda yang diberikan oleh gurunya
yaitu 4 orang pemuda lebih dahulu datang dan seorang lagi tiba terlambat
disebakan jalannya agak pincang.
Setelah
dipandang dari kepala hingga ujung kaki, maka jatuhlah kasih dan sayang Syeikh
Abdur Rauf kepada Pono di karenakan amanat sang guru dari Madinah tanda-tanda
yang ia sampaikan sesuai dengan keadaan fisik Pono. Syeikh Abdur Rauf menerima
Pono tidak sebagai murid yang baru dan juga tidak seperti kawan-kawan lainnya,
melainkan Pono dibawa tinggal di rumahnya dan mendapatkan bimbingan khusus
dalam menuntut ilmu, tidak seperti murid-murid yang lain.
30
tahun lamanya Pono menuntut ilmu di Tanah Aceh, serta beberapa tahapan-tahapan
yang dilalui hingga akhirnya nama si Pono digantikan dengan Burhanuddin, namun
itu adalah pemberian dari Guru di Madinah, Burhanuddin yang berarti “ Penyuluh
Agama “ dan memberikan sepasang baju jubbah serta kopiah dari anak naga Yaman
kepada Pono (Syeikh Burhanuddin).
Syeikh
Burhanuddin meninggalkan Aceh bersama beberapa orang yang mengantarkan serta
menjadi pengawal Syeikh Burhanuddin ke kampung halamannya, dikepalai oleh Teuku
Nan Basarung sesuai dengan amanat Syeikh Abdur Rauf untuk mengantarkan Syeikh
Burhanuddin sampai ke tanah kelahirannya.
Setibanya
Syeikh Burhanuddin beserta rombongannya dari Aceh akhirnya tiba di Pulau Anso,
pantai Ulakan. Mereka disambut tidak baik malah dianggap sebagai musuh, hingga
akhirnya Teuku Nan Basarung turun dan mendarat di tepi pantai untuk menjelaskan
maksud kedatangannya baik-baik tetapi disambut dengan serangan bertubi-tubi,
akhirnya Teuku Nan Basarung tidak dapat diselamatkan, ia gugur di medan perang
sebagai pahlawan fissabillilah.
Begitu
kentalnya hingga membekas sampai saat ini ajaran agama Islam yang dibawa oleh
Syeikh Burhanuddin. Terlihat dari anak-anak sepulang sekolah yang memakai
jilbab dan seleruh sekolah di Pariaman khususnya perempuan menggunakan jilbab dan setiap malam baik muda maupun tua berbondong-bondong melaksanakan shalat berjamaah lalu disambung dengan mengaji bersama.
Sepanjang
Pantai Pariaman hingga melewati Pantai Ulakan, pantai tersebut bersejarah bagi
Nagari Ulakan khususnya dan pada Minangkabau pada Umumnya.
Perjalanan
kami dari Bandar Udara Minangkabau menuju Pulau Anso, Pantai Pariaman memakan
waktu satu jam lebih. Sepanjang perjalanan, sawah membentang luas dan
pemandangan alam Minangkabau yang masih alami menyapa kami serta menyejukkan
mata dan pikiran menjadi terasa damai. Jalanan pun semakin lama semakin
mengecil tetapi masih muat di lalui 2 mobil berlawanan arah, menjadi nilai
tambah tersendiri bahwa benar-benar masih alami tetapi sudah mulai berkembang.
Pukul 12 kurang, matahari tepat berada di atas kepala dengan teriknya, kami
sampailah di Pantai Ulakan. Dimana di sebrang sana terdapat sebuah pulau yaitu
Pulau Anso. Di Pulau Anso tersebut Syeikh Burhanuddin menginjakkan kakinya lagi
di tanah kelahirannya Minangkabau setelah 30 tahun lamanya menimba ilmu di
Aceh. Dan kami melihat begitu membekasnya ajaran Syeikh Burhanuddin sekarang
ini dimana anak-anak sekolah semuanya memakai jilbab juga setiap malam dari
anak-anak hingga dewasa dan orangtua mengaji di surau.
Teringatlah
Syeikh Burhanuddin akan seorang temannya dulu sewaktu mengaji bersama Syeikh
Yahyuddin yaitu Idris Majolelo. Akhirnya Idris Majolelo berangkat bersama-sama dengan
anak Nagari Ulakan menuju Pulau Anso, Pariaman hendak menjemput Syeikh
Burhanuddin. Setelah menjemput Syeikh Burhanuddin, mereka sampai di Ulakan,
pada suatu tempat yang bernama “ Padang Silagundi “ maksud Idris membawa beliau
ke Tanjung Medan dimana ia menetap, tetapi teman lamanya Idris meminta supaya
besok dilanjutkan perjalanan kembali dan bermalam di Padang Silagundi tersebut.
Di tengah malam yang sunyi sepi terbangunlah salah seorang rombongan Idris yang
menjemput Syeikh Burhanuddin, dimana Allah Maha Kuasa Atas segala-galanya
memperlihatkan kuasanya yaitu ketika melihat alam sekelilingnya alangkah heran
dan tercengangnya ia, batang kayu yang tadi siangnya tegak berdiri lurus kini
pada mala mini condong semuanya ke arah mereka tidur bersama-sama yaitu Idris
dan Syeikh Burhanuddin. Keesokan harinya Syeikh Burhanuddin mengajak Idris
menanam ranting Cimpago Biru yang dibawanya dari tempat pengkhilwatannya semasa
di Aceh, sambil berkata dan beramanah “ Seandainya Aku berpulang kerahmatullah
nanti dekat cimpago biru inilah kuburkan aku, begitu juga sebaliknya “. Itulah
amanahnya kepada Idris. Lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Medan
untuk mengabarkan kepada Ayah dan Ibunya bahwa dia telah kembali dengan selamat
dari Aceh. Syeikh Burhanuddin mengembangkan agama Islam sekitar 1680 M. Bagi
Syeikh Burhanuddin tidak mudah mengembangkan ajaran agama Islam di alam
Minangkabau karena kuatnya adat lama dan berpengaruhnya ajaran agama Hindu dan
Budha di dalam jiwa masyarakat. Untuk membawa umat kembali ke jalan yang lurus
sangat hati-hati serta bijaksana, seperti pepatah mengatakan “ Laksana
Mengeluarkan Rambut Dalam Tepung “ yaitu rambut jangan putus dan tepung jangan
terserak, itulah jalan yang harus ditempuh oleh beliau dalam menjalankan tugas
sucinya.
Langkah
pertama yang ia ambil setelah bertawakal kepada Allah SWT dilakukannya dalam
keluarga sendiri serta family Idris Majolelo untuk mengembangkan agama Islam.
Bermusyawarahlah Syeikh Burhanuddin dengan Idris untuk mendirikan sebuah surau
tempat anak-anak mengaji, rencana itu disetujui oleh Idris dengan cara
bergotong royong maka berdirilah sebuah surau yang besar di Tanjung Medan, dari
surau tersebut beliau memancarkan ajaran Islam ke seleruh pelosok alam
Minangkabau. Berbondong-bondong orang mengunjungi surau Tanjung Medan untuk belajar
mengenai agama Islam. Pada suatu hari sepakatlah semua orang tua untuk
menyerahkan anak-anaknya kepada Syeikh Burhanuddin untuk didik dan supaya
menjadi anak yang berguna di kemudian hari. Ada 2 orang anak yang akan
meneruskan ajaran agama Islam dari Syeikh Burhanuddin dan yang pada akhirnya 2
orang tersebut menjadi Khalifah pertama sesudah Syeikh Burhanuddin wafat yaitu
Abdurrahman dan Jalaludin.
Perjalanan menuju Tanjung Medan yang begitu alami tetapi
jalan tersebut seolah tidak ada kepedulian untuk memperbaiki serta mengaspal
supaya dapat dengan mudah menuju akses Tanjung Medan karena di daerah tersebut
peristiwa bersejarah dalam Minangkabau terjadi.
Surau
Tanjung Medan menjadi saksi sejarah berkembangnya agama Islam serta tempat
mengajar Syeikh Burhanuddin mengajar dan memancarkan ajaran agama Islam ke
seluruh pelosok Minangkabau. Surau ini telah direnovasi untuk menjadi yang
lebih baik dan menjaga keaslian tempat Syeikh Burhanuddin mengajar.
Kondisi
dalam surau Tanjung Medan yang telah direnovasi sehingga masyarakat luas bisa
melihat tempat bersejarah ini.
Tanjung
Medan menjadi pemberhentian kami selanjutnya, dimana Syeikh Burhanuddin dengan
Idris beserta rombongannya bermalam di Padang Silagundi di lanjutkan lagi
perjalanan ke Tanjung Medan, dari surau Tanjung Medan ini beliau memancarkan
ajaran agama Islam ke seleruh pelosok alam Minangkabau. Akan tetapi, setibanya
kami di daerah tersebut, jalan untuk menuju Surau Tanjung Medan sangat
memprihatinkan seolah tidak ada yang peduli dengan tempat bersejarah ini dimana
jalan tersebut rusak dan masih banyak bebatuan tidak seperti di Kota yang telah
mulus sehingga bisa melesat dengan mudah. Setelah kami sampai di surau
tersebut, kami berdiam diri dan meresapi peristiwa sejarah yang terlupakan
serta mensyukuri apa yang telah diberikan dan dijaga oleh Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa bahwa tempat bersejarah ini terjaga dengan baik dan sudah di renovasi
sehingga terjaga keasliannya. Walaupun terlupakan oleh zaman serta sejarah
lainnya, kami bersyukur bisa memandang dengan jelas dan meresapi peristiwa
bersejarah menurut data yang relevan dari buku yang narasumbernya sudah
disahkan oleh petinggi beserta ulama Se Minangkabau.
Akan tetapi pemimpin agama Hindu dan Budha
serta pemuka adat yang selalu mempertahankan kepercayaan dan tradisi merasa
kuatir akan keberadaan Syeikh Burhanuddin dengan agama baru yang dibawanya bahwa
akan mengacau susunan adat Minangkabau. Suasana pun berubah menjadi tegang dan
jiwa Syeikh Burhanuddin serta temannya Idris semakin terancam, maka suatu hari
mereka bermusyawarah dimana Sang Syeikh mendapatkan satu kesimpulan bahwa “
Perjuangan dalam menegakkan agama Islam di Alam Minangkabau ini harus dengan
hati-hati dan dengan jalan bijaksana sebab masyarakat Minangkabau ini sangat
kuat memegang adat yang telah digariskan oleh nenek moyang mereka dan begitu
pula mereka tidak mudah dirubah begitu saja, sesuai dengan perkataan adat “
Lunak Tak Dapat Disidu Keras Tak Dapat Ditakiek “. Dan akhirya di dapatkan satu
keputusan yaitu menyiarkan agama Islam di Minangkabau dengan mempengaruhi kaum
adat dan pemuka adat. Maka Syeikh Burhanuddin dengan Idris berangkat menemui
kaum adat Nagari Ulakan dan mendapat satu keputusan yang menghasilkan kata
sepakat yaitu mereka sepakat untuk menemui Basa Empat Balai di Pariaman Padang
Panjang serta mendapat Daulat yang dipertuan Raja Pagaruyung, mereka
berpendapat tidaklah ada artinya kalau dibawah saja yang jernih sementara
diatas masih keruh dan tidaklah ada artinya Ulakan saja kaum adat.
Sang
Syeikh bersama Idris beserta kaum adat Nagari Ulakan berangkat menemui Basa
Empat Balai serta menghadap yang dipertuan Raja Pagaruyung menemui Datuk
Bandaharo. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa akhirnya mendapatkan keputusan
yang paling berharga dalam sejarah Minangkabau menambah tokohnya adat yang
terjalin dengan kata-kata “ Adat Basandi
Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah “. Kata-kata ini dicetuskan di bukit
Marapalam akhirnya dimasyurkan dengan nama “ Piagam Marapalam ”. Artinya adat telah bertemu dengan syara’ dengan
istilah “ Syara “ mendaki dan adat menurun, agama dan adat Minangkabau tidak
dapat dipisahkan.
Gunung
Singgalang berdiri dengan kokohnya di alam Minangkabau serta perlintasan rel
kereta api menghiasi pemandangan perjalanan kami menuju Istana Pagaruyung.
Air
terjun di pinggir jalan atau biasa disebut Lembah Anai mempunyai daya tarik
tersendiri. Dimana posisi air terjun tepat berada disampin jalan raya dan
diatasnya juga terdapat perlintasan kereta api. Pemandangan ini mungkin sangat
jarang di dapat oleh orang.
Kami
pun mengikuti jejak tersebut dan sampailah di Istana Pagaruyung dengan menempuh
waktu kurang lebih 3 jam perjalanan. Gunung
Singgalang berdiri dengan kokohnya menjadi pemandangan kami, bahwa alam
Minangkabau masih banyak yang alami dan harus dijaga keasliannya, sehabis itu
kami menaiki jalan yang berbelok-belok dengan panorama bukit-bukit serta
menyimpan sebuah keindahan tersendiri yaitu terdapat air terjun di pinggir
jalan “ Air Terjun Lembah Anai “ dimana diatas jalan raya juga terdapat
perlintasan kereta api yang jarang di dapatkan pemandangan seperti ini, juga
kota di balik bukit dengan udara yang sangat sejuk yaitu Kota Serambi Mekah,
Padang Pajang. Kami akhirnya tiba di Istana Pagarayun dengan membayar tiket
masuk sebesar Rp 7.000, lalu kami memasuki perkarangan Istana dan melihat dalam
Istana tersebut. Pada waktu dahulu kala Istana Pagarayung sempat terbakar
tetapi semua peninggalan-peninggalan sebagian terselamatkan. Kami menyusuri
dalam Istana dan terdapat ruang para Raja-raja serta seperti ruang tamu yang
dindingnya di hiasi senjata-senjata para Raja. Perjalanan pun kami lanjutkan
dengan menyusuri Tanjung Medan kembali.
Kompleks
Istana Pagaruyung yang terletak di daerah Batu Sangka. Di tempat ini Syeikh
Burhanuddin beserta rombongannya menghadap Raja Pagaruyung.
Ruang
dalam Istana Pagaruyung yang masih terjaga sebagian keasliaannya, sebab dahulu
kala Istana ini terbakar dan tidak melahap kesemuanya.
Tampak
seperti ruang para Raja-raja untuk tempat beristirahat dan juga mungkin untuk
ruang menerima tamu khusus para Raja-raja.
Peristiwa
bersejarah itu pun telah menyebar ke seluruh pelosok Minangkabau, bahwa agama
yang dibawa Syeikh Burhanuddin membawa masyarakat Minangkabau menjadi yang
lebih baik serta kembali ke jalan yang lurus dan Islam berkembang dengan
pesatnya, maka didirikanlah beberapa surau lagi untuk tempat mengaji dan Tanjung
Medan telah menjadi pusat pendidikan agama Islam di alam Minangkabau serta
berdirinya sebuah Fakultas Islam yang pertama di dalam sejarah Tanjung Medan
khususnya dan Minangkabau pada umumnya. Tetapi seiring berkembanganya zaman,
semua itu hanya tinggal kenangan saja, dan begitu juga telah menjadi kenyataan
di dalam sejarah perkembangan agama Islam di Minangkabau dan Indonesia pada
umumnya, bahwa Nagari Ulakan dengan Tanjung Medan telah mengambil bagian
penting sekitar 290 tahun yang lalu, dari mana si’arnya agama Islam dipancarkan
menembus dusun kota dan memenuhi alam Minangkabu sekarang ini.
Kompleks
surau Tanjung Medan diperluas setelah Syeikh Burhanuddin melakukan pertemuan
yang menghasilkan piagam Marapalam. Sehingga diperluas area Tanjung Medan dan
Islam pun berkembang begitu pesatnya. Dan berdirinya Fakultas Islam yang
pertama dalam sejarah perkembangan agama Islam di Minangkabau.
Idris
Majolelo diangkat oleh Syeikh Burhanuddin menjadi khatib di Tanjung Medan dan
sejak itu beliau dimashurkan dengan nama Khatib Majolelo. Dan tahun 1100 H,
beliau mengadakan pertemuan besar di Tanjung Medan dengan Ninik Mamak, Labai
dan Imam Khatib seluruh Ulakan, tujuannya adalah mengangkat khalifah yang akan
menggantikan beliau karena beliau sudah mulai lemah dan pikirannya pun sudah
berkurang.
41 tahun lamanya Syeikh Burhanuddin bekerja siang dan malam
dalam mengembangkan ajaran agama Islam, sejak tahun 1070 H sampai tahun 1111 H,
akhirnya pada hari Arba’a 10 Syafar tahun 1111 H, bertepatan dengan tahun 1691
M, Syeikh Burhanuddin berpulang ke rahmatullah menemui panggilan Tuhan Yang
Maha Kuasa di Tanjung Medan. Murid-murid beliau serta masyarakat Tanjun Medan
dan Ulakan sekitarnya berduka cita, mencucurkan air mata.
Digalilah pusara (kuburan) untuk beliau yang berada tidak
jauh dari surau tersebut, segala sesuatu telah disiapkan tetapi takdir mengatakan
dengan lain, atas kehendak Yang Maha Kuasa, terdengarlah Shalawat atas Nabi
yang bunyi sangat merdu sekali menusuk hati bagi orang yang mendengarnya. Semua
yang berada di Tanjung Medan merasa heran dan ta’jub melihat peristiwa tersebut
disebabkan oleh suara Shalawat atas Nabi yang kian lama kian menjauh bunyinya
menuju suatu tempat bernama “ Padang Silagundi” dekat pantai Ulakan.
Teringatlah Idris akan pesan beliau pada masa lampau sewaktu
bermalam di Padang Silagundi sekembali dari Tanah Serambi Mekah, Aceh yaitu “
Seandainya aku berpulang ke Rahmatullah di negeri ini nanti, maka disinilah
tempat pusaraku “. Seketika itu beliau menanam sebatang ranting Cimpago Biru
yang dibawa dari Aceh. Kemudian Idris Khatib Majolelo berseru kepada orang
banyak agar membawa jenazah beliau mengikuti bunyi suara shalawat yang berakhir
di Padang Silagundi, suaru tersebut berhenti dekat batang kayu yang ia tanam
(Cimpago Biru). Di tempat itu akhirnya disemayamkan jasadnya Syeikh Burhanuddin
yang sekarang bernama “ Maqam Syeikh
Burhanuddin Ulakan “.
Dibelakang surau Tanjung Medan terdapat sebuah makam dan
makam ini adalah makam pertama kali Syeikh Burhanuddin akan disemayamkan tetapi
tidak jadi. Maka makam ini disebut Makam Si Bohong, sampai sekarang ini makam
tersebut tidak ditumbuhi rumput.
Makam Si Bohong yang sampai saat ini bisa di lihat masyarakat
luas dan dalam makam ini sampai sekarang tidak di tumbuhi rumput.
Kami menyusuri kembali perkomplekan surau Tanjung Medan dan
akhirnya menemui sebuah makam kosong, masyarakat setempat menamakannya dengan
makam si Bohong atau Kuburan si Bohong yang terletak dibelakang surau Tanjung
Medan. Makam tersebut adalah makam pertama Syeikh Burhanuddin tetapi akhir di
makamkan di Padang Silagundi, oleh karena itu makam tersebut tidak jadi
dipakai, maka dinamai dengan Makam si Bohong yang sampai saat sekarang ini
tidak ditumbuhi rumput.
Kami pun beranjak dari Tanjung Medan menuju Padang Silagudin.
Terlihat sangat jelas sekali pemandangan dan gemuruh ombak dari Pantai Ulakan
ketika menuju makam Syeikh Burhanuddin yang bernama dahulu kala “ Padang
Silagundi “ yang mebuat kami larut dalam suasana suka dan duka perjalanan kami.
Tibalah di makam, kami kembali hening sejenak untuk menghormati serta
mensyukuri atas jasa sang Syeikh Burhanuddin. Tampak makam beliau yang
disamping kanan adalah Khatib Idris Majolelo, tengah adalah Syeikh Burhanuddin
dan sebelah kiri Khalifah Abdurrahman. Lalu kami berdoa agar perjuangan beliau
dalam menyebarluaskan agama Islam selalu diberi ampunan disisi Allah SWT.
Sebelum berakhir perjalanan kami dalam menapaki jejak perjuangan Syeikh
Burhanuddin, sempat singgah sebentar dimana tempat tersebut adalah Surau Pondok
Ketek tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Syeikh Burhanuddin yang
disimpan dalam peti diantaranya berupa baju, kopiah, ikat pinggang dan kitab
Al-Qur’an. Semua barang tersebut masih utuh sampai sekarang. Diantara pakaian
itu ada sepasang pakaian yang dibawa Syeikh Abdur Rauf dari Madinah kiriman
Syeikh Ahmadul Qushashi untuk Syeikh Burhanuddin. Tetapi kami tidak bisa
melihat peninggalan tersebut dikarenakan untuk melihatnya harus melakukan
tahlil sebanyak 40 orang. Begitulah cara yang berlaku sampai sekarang untuk
menjaga peninggalan bersejarah tersebut dan dipegang oleh keturunan Syeikh
Burhanuddin bergelar Tuangku Khalifah pada Surau Pondok Ketek di desa Koto
Panjang Ulakan yang tidak jauh dari makam Syeikh Burhanuddin.
Di Padang Silagundi akhirnya Syeikh Burhanuddin di
semayamkan. Pada makam tersebut terdapat 3 makam yang dimana pada bagian tengah
adalah makam Syeikh Burhanuddin, sebelah kanannya Idris Khatib Majolelo dan
sebelah kiri adalah Abdurrahman, khalifah yang pertama dan meneruskan
perjalanan serta ajara agama Islam yang dibawa oleh Syeikh Burhanuddin.
Bagian dalam kompleks Makam Syeikh Burhanuddin yang
keasliaannya masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Ulakan khususnya dan
Pariaman umumnya.
Kini tinggal kenangan saja dan yang tersisa hanyalah
perkomplekan Makam Syeikh Burhanuddin yang terlupakan sebagian banyak orang
serta kurangnya kepedulian untuk menjaga serta melestarikan tempat bersejarah
bagi Minangkabau umumnya.
Pemandangan dari luar Makam Syeikh Burhanuddin yang tampak
seolah-olah sudah terlupakan dan seperti kurang perduli untuk mengurusnya.
Akhirnya perjalanan kami menapaki jejak Syeikh Burhanuddin
berakhir di makam Syeikh Burhanuddin dan sore harinya kami pun meninggal alam
Minangkabau yang masih terjaga keasliannya serta ramahnya masyarakat Nagari
Ulakan.