Rabu, 27 Januari 2016

Aku berharap pada janji mu untuk negeri ini bukan pencitraan mu




Berbicara masalah politik di Indonesia, ada satu hal mengganjal yang sering dilontarkan oleh masyarakat yaitu mengapa politisi di Indonesia saat ini harus selalu mengaktifkan setiap dukungan publik dengan rupiah?
Ketika politisi menyebut diri atau partainya mendapatkan dukungan politisi publik, sebetulnya dukungan itu datang dari uang, bukan karena adanya kesadaran politik masyarakat itu sendiri. Sebetulnya para politisi telah pernah mendapatkan dukungan sejati dari masyarakat yaitu dukungan tulus saat masyarakat mau dengan sukarela mendonasikan waktu, tenaga dan biaya untuk kepentingan politisi partai atau perseorangan.
Pencitraan politik adalah pencitraan panjang yang mengaktifkan setiap nilai-nilai partai sebagai pemberi solusi kehidupan berbangsa bagi masyarakat. Jadi tidak harus 5 tahun sekali baru dibangun kampanye pencitraan tetapi justru setiap hari.
Pada sisi lain, tidak sedikit politisi yang mengartikan pencitraan adalah kedekatan dengan wartawan. Harus diakui bahwa persepsi pencitraan identic dengan liputan media tertanam begitu kuat dalam benak para politisi. Hal itu tidak salah, tapi tidaklah sesederhana itu jika kita membutuhkan pencitraan politik yang kuat. Yaitu pencitraan yang tidak sekadar tergopoh-gopoh bertemu dengan wartawan ataupun sibuk mencari slot talkshow di TV.
Sebuah pencitraan tidak hanya menggunakan uang untuk menjadi pelumas mesin politik dan lembaga-lembaga politik karbitan yang membela gerakan politik malah menurunkan citra politisi? Apalagi dengan demo-demo tandingan. Mungkin mereka berpikir bahwa masyarakat kita masih terbelakang sehingga tidak bisa membedakan antara demo alami dan demo bayaran.
Pencitraan politik harus dibangun dalam sinergi besar antara aktivitas nilai-nilai politik, media massa, aktivitas lapangan dan perilaku target audiens politik itu sendiri. Dengan begitu akan tampak bahwa aktivitas pesan politik tidak harus melulu melalui media massa. Tapi menjadikan pesan politik sebagai bahan pembicaraan positif di kalangan masyarakat dan sekaligus cara menggerakkan target audiens dengan membangun kesadaran mereka sendiri.
Jadi, bisa dibayangkan ketika menyebut partai-partai, maka masing-masing dalam benak kita sudah langsung tergambar keunggulan partai-partai tersebut. Begitu juga saat menyebut tokoh-tokoh politik ataupun gerakan-gerakan politik nonpartai lainnya. Hal ini akan memunculkan pencerahan yang menjadikan kampanye politik menjadi berbeda. Bahkan bukan hanya pencerahan, sinergi itu juga akan menunjukkan cara memulai sebuah kampanye politik dengan anggaran yang lebih rasional. Ujung-ujungya, kita tidak terbebani oleh urusan “balik modal” dalam jumlah besar, sebab beban “balik modal” inilah yang biasanya membuka peluang korupsi.
Saat masyarakat memilih mereka, itu sebetulnya bukan akhir karena justru dari situlah kerja awal membangun citra politik dimulai. Karena begitu masyarakat memilih, maka politisi harus memelihara suara mereka agar tidak mengalami kekecewaan dan kemudian lari ke politik lain. Ini yang agak sulit sebetulnya karena politisi lebih sering mengakhiri pencitraan politiknya justru setelah terpilih dan malah memikirkan dirinya sendiri untuk mengembalikan modal kampanye.
Dalam pencitraan politik, sebaiknya proses menciptakan kebutuhan pada publik juga harus dilakukan sehingga setiap politisi tidak pernah kehabisan amunisi ketika harus melakukan gerakan politik. Fenomena kampanye yang seragam, seperti ke pasar, terminal dan daerah-daerah kumuh, akan bisa dikembangkan secara lebih sistematis kalau kita menggunakan proses menciptakan kebutuhan publik sehingga keinginan publik bisa tercapai. Dan bukan hanya pencitraan saja yang mereka pentingkan tetapi janji mereka untuk memberikan solusi kehidupan berbangsa bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar