Berbicara masalah
politik di Indonesia, ada satu hal mengganjal yang sering dilontarkan oleh
masyarakat yaitu mengapa politisi di Indonesia saat ini harus selalu
mengaktifkan setiap dukungan publik dengan rupiah?
Ketika politisi
menyebut diri atau partainya mendapatkan dukungan politisi publik, sebetulnya
dukungan itu datang dari uang, bukan karena adanya kesadaran politik masyarakat
itu sendiri. Sebetulnya para politisi telah pernah mendapatkan dukungan sejati
dari masyarakat yaitu dukungan tulus saat masyarakat mau dengan sukarela
mendonasikan waktu, tenaga dan biaya untuk kepentingan politisi partai atau
perseorangan.
Pencitraan politik
adalah pencitraan panjang yang mengaktifkan setiap nilai-nilai partai sebagai
pemberi solusi kehidupan berbangsa bagi masyarakat. Jadi tidak harus 5 tahun
sekali baru dibangun kampanye pencitraan tetapi justru setiap hari.
Pada sisi lain, tidak
sedikit politisi yang mengartikan pencitraan adalah kedekatan dengan wartawan.
Harus diakui bahwa persepsi pencitraan identic dengan liputan media tertanam
begitu kuat dalam benak para politisi. Hal itu tidak salah, tapi tidaklah
sesederhana itu jika kita membutuhkan pencitraan politik yang kuat. Yaitu
pencitraan yang tidak sekadar tergopoh-gopoh bertemu dengan wartawan ataupun
sibuk mencari slot talkshow di TV.
Sebuah pencitraan tidak
hanya menggunakan uang untuk menjadi pelumas mesin politik dan lembaga-lembaga
politik karbitan yang membela gerakan politik malah menurunkan citra politisi?
Apalagi dengan demo-demo tandingan. Mungkin mereka berpikir bahwa masyarakat
kita masih terbelakang sehingga tidak bisa membedakan antara demo alami dan
demo bayaran.
Pencitraan politik
harus dibangun dalam sinergi besar antara aktivitas nilai-nilai politik, media
massa, aktivitas lapangan dan perilaku target audiens politik itu sendiri.
Dengan begitu akan tampak bahwa aktivitas pesan politik tidak harus melulu
melalui media massa. Tapi menjadikan pesan politik sebagai bahan pembicaraan
positif di kalangan masyarakat dan sekaligus cara menggerakkan target audiens
dengan membangun kesadaran mereka sendiri.
Jadi, bisa dibayangkan
ketika menyebut partai-partai, maka masing-masing dalam benak kita sudah
langsung tergambar keunggulan partai-partai tersebut. Begitu juga saat menyebut
tokoh-tokoh politik ataupun gerakan-gerakan politik nonpartai lainnya. Hal ini
akan memunculkan pencerahan yang menjadikan kampanye politik menjadi berbeda.
Bahkan bukan hanya pencerahan, sinergi itu juga akan menunjukkan cara memulai
sebuah kampanye politik dengan anggaran yang lebih rasional. Ujung-ujungya,
kita tidak terbebani oleh urusan “balik modal” dalam jumlah besar, sebab beban
“balik modal” inilah yang biasanya membuka peluang korupsi.
Saat masyarakat memilih
mereka, itu sebetulnya bukan akhir karena justru dari situlah kerja awal
membangun citra politik dimulai. Karena begitu masyarakat memilih, maka
politisi harus memelihara suara mereka agar tidak mengalami kekecewaan dan
kemudian lari ke politik lain. Ini yang agak sulit sebetulnya karena politisi
lebih sering mengakhiri pencitraan politiknya justru setelah terpilih dan malah
memikirkan dirinya sendiri untuk mengembalikan modal kampanye.
Dalam pencitraan
politik, sebaiknya proses menciptakan kebutuhan pada publik juga harus
dilakukan sehingga setiap politisi tidak pernah kehabisan amunisi ketika harus
melakukan gerakan politik. Fenomena kampanye yang seragam, seperti ke pasar,
terminal dan daerah-daerah kumuh, akan bisa dikembangkan secara lebih
sistematis kalau kita menggunakan proses menciptakan kebutuhan publik sehingga
keinginan publik bisa tercapai. Dan bukan hanya pencitraan saja yang mereka
pentingkan tetapi janji mereka untuk memberikan solusi kehidupan berbangsa bagi
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar