Minggu, 10 April 2016

SYEIKH BURHANUDDIN TONGGAK PENYEBARAN ISLAM DI MINANGKABAU YANG TERLUPAKAN




                   



Bandar Udara Internasional Minangkabau adalah pintu gerbang masuknya Minangkabau dari berbagai macam orang baik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri

Hari senin siang. Matahari menggantung di langit dengan penuh semangatnya. Bandara Internasional Minangkabau menyapa di dalam teriknya hari ini. Kami mendarat sekitar pukul 13.00. Saat mendaratkan kedua kaki di bumi Minangkabau ini, perjalanan untuk menguak kisah yang terlupakan sudah menanti. Salah satu tonggak penyeberan agama Islam dari bumi Minangkabau, Syeikh Burhanudin. Kisahnya sedikit terlupakan. Bahkan juga, tidak sedikit masyarakat Minang yang belum mendengar namanya. Mayoritas mendengar nama Imam Bonjol. Syeikh Burhanudin, ketika mendengar namanya tidak sedikit yang mengernyitkan dahinya. Perjalanan kami dimulai dengan mengunjungi awal kali beliau menapak di Minangkabau sebelum ke Pariaman. Tempat tersebut bernama Pulau Anso. Menyita waktu perjalanan sekitar satu jam untuk menggapai Pulau Anso dengan menggunakan perahu kecil nelayan dari Pariaman. 
                 

Pulau Anso yang terletak di wilayah Pariaman. Di pulau ini Syeikh Burhanuddin menginjakkan kakinya lagi setelah belajar menimba ilmu di Tanah Serambi Mekah, Aceh.

Saat tiba di Pariaman, kami berusaha untuk mencari seorang nelayan yang ingin mengantar kami menuju Pulau Anso. Di Pulau Anso ini Syeikh Burhanuddin menginjakkan kakinya lagi setelah menimba ilmu selama 30 tahun di tanah serambi mekkah, Aceh. Hingga akhirnya beliau masuk dan di terima masyarakat Nagari Ulakan, Minangkabau. Sebelum Ia berangkat ke Tanah Serambi Mekkah (Aceh) disini awal mula cerita Si Pono atau Syeikh Buhanuddin.

Pada permulaan abad ke 17 Masehi, lahirlah seorang putera Minangkabau tepatnya di Pariangan Padang Panjang, yang bernama Pono anak dari Pampak dan Ibunya bernama Cukuik suku Guci berasal dari Batipuh dan turun ke Pariangan Padang Panjang. Masyarakat di kala itu telah tersusun baik, aturan negeri telah sempurna disebabkan sekitar 250 tahun yang silam telah berdiri satu kerajaan di alam Minangkabau dengan nama kerajaan Pagar Ruyung yang aturan adat tersusun sempurna dan telah menjadi pegangan masyarakat serta agama yang dianut yaitu Hindu dan Budha. Abad ke 15 Masehi agama islam telah sampai ke Minangkabau yang dibawa oleh pedagang-pedagang dan saudagar-saudagar Arab Parsi melalui pesisir Barat Minangkabau yang berlabuh di Tiku dan Pariaman. Tetapi agama islam tidak bisa berkembang dengan baik oleh karena kuatnya agama sebelum islam masuk. Ketika Pono telah beranjak dewasa, mereka pindah ke Nagari Sintuk.

Tahun 1037 H, ada seorang murid dari Syeikh Ahmad bin Muhammad Al Madani al-Asyhari yang dimasyurkan dengan nama “ Alqushashi “ yang bernama “ Syeikh Yahyuddin “ beliau diamanatkan oleh gurunya Ahmad Qushashi pergi untuk mengembangkan agama islam ke tempat yang mana dia sukai. Kemudian gurunya memberikan dua buah botol yang satu kosong dan yang satu lagi berisi air, dimana sama beratnya air dengan tanah setempat disitu lah mengembangkan agama islam. Akhirnya Syeikh Yahyuddin tiba pada suatu tempat di tepi pantai Nagari Tapakis, sembari bertafakur maka teringatlah ia akan pesan gurunya sewaktu akan meninggalkan Madinah, akhirnya ditimbangnyalah tanah dan air yang dibawanya, dengan izin Allah Yang Maha Kuasa air dan tanah tersebut sesuai beratnya sebagaimana amanat gurunya (Syeikh Ahmadul Qushashi).

Syeikh Yahyuddin mulai mengajak masyarakat setempat untuk memeluk agama islam, kemudian datang seorang putera Minangkabau dari Pariangan Padang Panjang untuk menemuinya tidak lain ialah si Pono. Pono mendapatkan seorang teman yang bernama Idris suku Koto yang datang dari Tanjung Medan Ulakan. Tetapi usaha Tuangku Madinah untuk mengembangkan agama islam tidak membuahkan hasil yang maksimal dikarenakan sifat-sifat anak nagari sangat memegang teguh adatnya dan tetap menganut agama lama.

Menurut riwayat, pada suatu hari Pono melaksanakan perintah gurunya untuk menjadi Imam sembahayang. Dengan mudah Pono lancar menguraikan segala isi yang terkandung di dalamnya, hingga membuat gurunya heran dan tercengang merasa ta’ajub atas karunia Tuhan yang diberikan terhadap Pono. Gurunya menyampaikan sesuatu kepada Pono setelah kejadian yang baru ia alami, bahwa Pono mendapatkan rahmat dari Allah untuk menjadi orang yang akan membawa umat kepada jalan yang benar (agama islam) dan Gurunya memberikan amanat untuk meneruskan ajarannya dan melanjutkan pelajarannya ke Tanah Aceh. Amanat sang guru pun menjadi perpisahan selamanya dan salam terakhir kepada Pono.

Setelah kepergian sang Guru selama-lamanya, maka Pono ingat akan pesan sang Guru untuk melanjutkan menimba ilmu ke tanah Aceh. Akhirnya Pono membulatkan hatinya untuk meninggalkan Nagari Sintuk yang penuh onak dan duri serta beberapa orang hendak membunuhnya. Dalam perjalanan ia mendapatkan 4 orang teman yang tujuannya sama yaitu ke Tanah Aceh, 4 orang tersebut ialah Datuk Maruhun Panjang (Padang Gating), Sitarapang (Kubung Tiga Belas), Muhammad Natsir (Koto Tengah), Buyung Mudo (Pulut-pulut Bandar). Kelima orang tersebut pergi untuk menemui Syeikh Abdur Rauf di tanah Aceh. 

Sedikit selayang pandang tentang riwayat Syeikh Abdur Rauf, ia adalah Anak dari Ali Fansuri, Singkil Aceh Selatan. Pada tahun 1010 H beliau berangkat ke Tanah Suci (Mekkah) untuk belajar agama islam. Kemudian beliau belajar kepada seorang guru bernama Syeikh Ahmadul Qushashi. Setelah menguasai ilmu Fiqih, Tauhid, Tasauf dan Taqwim dan mendapatkan amanat dari Syeikh Ahmadul Qushashi, beliau pulang ke tanah Aceh kembali. Amanat sang guru berisi yaitu menyebarkan ajaran agama islam, serta sebuah nama dan sepasang baju jubbah berikut kopiah buatan anak naga Yaman juga kitab-kitab dari Madinah untuk diberikan kepada seseorang yang berhak menyandangnya.

Syeikh Abdur Rauf mengetahui kedatang 5  pemuda orang Minangkabau tersebut terutama Pono. Sebab ia mengingat pesan gurunya sewaktu di Madinah dan begitu juga tanda-tanda yang diberikan oleh gurunya yaitu 4 orang pemuda lebih dahulu datang dan seorang lagi tiba terlambat disebakan jalannya agak pincang.

Setelah dipandang dari kepala hingga ujung kaki, maka jatuhlah kasih dan sayang Syeikh Abdur Rauf kepada Pono di karenakan amanat sang guru dari Madinah tanda-tanda yang ia sampaikan sesuai dengan keadaan fisik Pono. Syeikh Abdur Rauf menerima Pono tidak sebagai murid yang baru dan juga tidak seperti kawan-kawan lainnya, melainkan Pono dibawa tinggal di rumahnya dan mendapatkan bimbingan khusus dalam menuntut ilmu, tidak seperti murid-murid yang lain.
30 tahun lamanya Pono menuntut ilmu di Tanah Aceh, serta beberapa tahapan-tahapan yang dilalui hingga akhirnya nama si Pono digantikan dengan Burhanuddin, namun itu adalah pemberian dari Guru di Madinah, Burhanuddin yang berarti “ Penyuluh Agama “ dan memberikan sepasang baju jubbah serta kopiah dari anak naga Yaman kepada Pono (Syeikh Burhanuddin).

Syeikh Burhanuddin meninggalkan Aceh bersama beberapa orang yang mengantarkan serta menjadi pengawal Syeikh Burhanuddin ke kampung halamannya, dikepalai oleh Teuku Nan Basarung sesuai dengan amanat Syeikh Abdur Rauf untuk mengantarkan Syeikh Burhanuddin sampai ke tanah kelahirannya.

Setibanya Syeikh Burhanuddin beserta rombongannya dari Aceh akhirnya tiba di Pulau Anso, pantai Ulakan. Mereka disambut tidak baik malah dianggap sebagai musuh, hingga akhirnya Teuku Nan Basarung turun dan mendarat di tepi pantai untuk menjelaskan maksud kedatangannya baik-baik tetapi disambut dengan serangan bertubi-tubi, akhirnya Teuku Nan Basarung tidak dapat diselamatkan, ia gugur di medan perang sebagai pahlawan fissabillilah. 


Begitu kentalnya hingga membekas sampai saat ini ajaran agama Islam yang dibawa oleh Syeikh Burhanuddin. Terlihat dari anak-anak sepulang sekolah yang memakai jilbab dan seleruh sekolah di Pariaman khususnya perempuan menggunakan jilbab dan setiap malam baik muda maupun tua berbondong-bondong melaksanakan shalat berjamaah lalu disambung dengan mengaji bersama.


Sepanjang Pantai Pariaman hingga melewati Pantai Ulakan, pantai tersebut bersejarah bagi Nagari Ulakan khususnya dan pada Minangkabau pada Umumnya.

Perjalanan kami dari Bandar Udara Minangkabau menuju Pulau Anso, Pantai Pariaman memakan waktu satu jam lebih. Sepanjang perjalanan, sawah membentang luas dan pemandangan alam Minangkabau yang masih alami menyapa kami serta menyejukkan mata dan pikiran menjadi terasa damai. Jalanan pun semakin lama semakin mengecil tetapi masih muat di lalui 2 mobil berlawanan arah, menjadi nilai tambah tersendiri bahwa benar-benar masih alami tetapi sudah mulai berkembang. Pukul 12 kurang, matahari tepat berada di atas kepala dengan teriknya, kami sampailah di Pantai Ulakan. Dimana di sebrang sana terdapat sebuah pulau yaitu Pulau Anso. Di Pulau Anso tersebut Syeikh Burhanuddin menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya Minangkabau setelah 30 tahun lamanya menimba ilmu di Aceh. Dan kami melihat begitu membekasnya ajaran Syeikh Burhanuddin sekarang ini dimana anak-anak sekolah semuanya memakai jilbab juga setiap malam dari anak-anak hingga dewasa dan orangtua mengaji di surau.  

Teringatlah Syeikh Burhanuddin akan seorang temannya dulu sewaktu mengaji bersama Syeikh Yahyuddin yaitu Idris Majolelo. Akhirnya Idris Majolelo berangkat bersama-sama dengan anak Nagari Ulakan menuju Pulau Anso, Pariaman hendak menjemput Syeikh Burhanuddin. Setelah menjemput Syeikh Burhanuddin, mereka sampai di Ulakan, pada suatu tempat yang bernama “ Padang Silagundi “ maksud Idris membawa beliau ke Tanjung Medan dimana ia menetap, tetapi teman lamanya Idris meminta supaya besok dilanjutkan perjalanan kembali dan bermalam di Padang Silagundi tersebut. Di tengah malam yang sunyi sepi terbangunlah salah seorang rombongan Idris yang menjemput Syeikh Burhanuddin, dimana Allah Maha Kuasa Atas segala-galanya memperlihatkan kuasanya yaitu ketika melihat alam sekelilingnya alangkah heran dan tercengangnya ia, batang kayu yang tadi siangnya tegak berdiri lurus kini pada mala mini condong semuanya ke arah mereka tidur bersama-sama yaitu Idris dan Syeikh Burhanuddin. Keesokan harinya Syeikh Burhanuddin mengajak Idris menanam ranting Cimpago Biru yang dibawanya dari tempat pengkhilwatannya semasa di Aceh, sambil berkata dan beramanah “ Seandainya Aku berpulang kerahmatullah nanti dekat cimpago biru inilah kuburkan aku, begitu juga sebaliknya “. Itulah amanahnya kepada Idris. Lalu mereka melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Medan untuk mengabarkan kepada Ayah dan Ibunya bahwa dia telah kembali dengan selamat dari Aceh. Syeikh Burhanuddin mengembangkan agama Islam sekitar 1680 M. Bagi Syeikh Burhanuddin tidak mudah mengembangkan ajaran agama Islam di alam Minangkabau karena kuatnya adat lama dan berpengaruhnya ajaran agama Hindu dan Budha di dalam jiwa masyarakat. Untuk membawa umat kembali ke jalan yang lurus sangat hati-hati serta bijaksana, seperti pepatah mengatakan “ Laksana Mengeluarkan Rambut Dalam Tepung “ yaitu rambut jangan putus dan tepung jangan terserak, itulah jalan yang harus ditempuh oleh beliau dalam menjalankan tugas sucinya.

Langkah pertama yang ia ambil setelah bertawakal kepada Allah SWT dilakukannya dalam keluarga sendiri serta family Idris Majolelo untuk mengembangkan agama Islam. Bermusyawarahlah Syeikh Burhanuddin dengan Idris untuk mendirikan sebuah surau tempat anak-anak mengaji, rencana itu disetujui oleh Idris dengan cara bergotong royong maka berdirilah sebuah surau yang besar di Tanjung Medan, dari surau tersebut beliau memancarkan ajaran Islam ke seleruh pelosok alam Minangkabau. Berbondong-bondong orang mengunjungi surau Tanjung Medan untuk belajar mengenai agama Islam. Pada suatu hari sepakatlah semua orang tua untuk menyerahkan anak-anaknya kepada Syeikh Burhanuddin untuk didik dan supaya menjadi anak yang berguna di kemudian hari. Ada 2 orang anak yang akan meneruskan ajaran agama Islam dari Syeikh Burhanuddin dan yang pada akhirnya 2 orang tersebut menjadi Khalifah pertama sesudah Syeikh Burhanuddin wafat yaitu Abdurrahman dan Jalaludin.
           

Perjalanan menuju Tanjung Medan yang begitu alami tetapi jalan tersebut seolah tidak ada kepedulian untuk memperbaiki serta mengaspal supaya dapat dengan mudah menuju akses Tanjung Medan karena di daerah tersebut peristiwa bersejarah dalam Minangkabau terjadi.

Surau Tanjung Medan menjadi saksi sejarah berkembangnya agama Islam serta tempat mengajar Syeikh Burhanuddin mengajar dan memancarkan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok Minangkabau. Surau ini telah direnovasi untuk menjadi yang lebih baik dan menjaga keaslian tempat Syeikh Burhanuddin mengajar.

Kondisi dalam surau Tanjung Medan yang telah direnovasi sehingga masyarakat luas bisa melihat tempat bersejarah ini.

Tanjung Medan menjadi pemberhentian kami selanjutnya, dimana Syeikh Burhanuddin dengan Idris beserta rombongannya bermalam di Padang Silagundi di lanjutkan lagi perjalanan ke Tanjung Medan, dari surau Tanjung Medan ini beliau memancarkan ajaran agama Islam ke seleruh pelosok alam Minangkabau. Akan tetapi, setibanya kami di daerah tersebut, jalan untuk menuju Surau Tanjung Medan sangat memprihatinkan seolah tidak ada yang peduli dengan tempat bersejarah ini dimana jalan tersebut rusak dan masih banyak bebatuan tidak seperti di Kota yang telah mulus sehingga bisa melesat dengan mudah. Setelah kami sampai di surau tersebut, kami berdiam diri dan meresapi peristiwa sejarah yang terlupakan serta mensyukuri apa yang telah diberikan dan dijaga oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa bahwa tempat bersejarah ini terjaga dengan baik dan sudah di renovasi sehingga terjaga keasliannya. Walaupun terlupakan oleh zaman serta sejarah lainnya, kami bersyukur bisa memandang dengan jelas dan meresapi peristiwa bersejarah menurut data yang relevan dari buku yang narasumbernya sudah disahkan oleh petinggi beserta ulama Se Minangkabau.

 Akan tetapi pemimpin agama Hindu dan Budha serta pemuka adat yang selalu mempertahankan kepercayaan dan tradisi merasa kuatir akan keberadaan Syeikh Burhanuddin dengan agama baru yang dibawanya bahwa akan mengacau susunan adat Minangkabau. Suasana pun berubah menjadi tegang dan jiwa Syeikh Burhanuddin serta temannya Idris semakin terancam, maka suatu hari mereka bermusyawarah dimana Sang Syeikh mendapatkan satu kesimpulan bahwa “ Perjuangan dalam menegakkan agama Islam di Alam Minangkabau ini harus dengan hati-hati dan dengan jalan bijaksana sebab masyarakat Minangkabau ini sangat kuat memegang adat yang telah digariskan oleh nenek moyang mereka dan begitu pula mereka tidak mudah dirubah begitu saja, sesuai dengan perkataan adat “ Lunak Tak Dapat Disidu Keras Tak Dapat Ditakiek “. Dan akhirya di dapatkan satu keputusan yaitu menyiarkan agama Islam di Minangkabau dengan mempengaruhi kaum adat dan pemuka adat. Maka Syeikh Burhanuddin dengan Idris berangkat menemui kaum adat Nagari Ulakan dan mendapat satu keputusan yang menghasilkan kata sepakat yaitu mereka sepakat untuk menemui Basa Empat Balai di Pariaman Padang Panjang serta mendapat Daulat yang dipertuan Raja Pagaruyung, mereka berpendapat tidaklah ada artinya kalau dibawah saja yang jernih sementara diatas masih keruh dan tidaklah ada artinya Ulakan saja kaum adat. 

Sang Syeikh bersama Idris beserta kaum adat Nagari Ulakan berangkat menemui Basa Empat Balai serta menghadap yang dipertuan Raja Pagaruyung menemui Datuk Bandaharo. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa akhirnya mendapatkan keputusan yang paling berharga dalam sejarah Minangkabau menambah tokohnya adat yang terjalin dengan kata-kata “ Adat Basandi Syara’ dan Syara’ Basandi Kitabullah “. Kata-kata ini dicetuskan di bukit Marapalam akhirnya dimasyurkan dengan nama “ Piagam Marapalam ”. Artinya adat telah bertemu dengan syara’ dengan istilah “ Syara “ mendaki dan adat menurun, agama dan adat Minangkabau tidak dapat dipisahkan.


Gunung Singgalang berdiri dengan kokohnya di alam Minangkabau serta perlintasan rel kereta api menghiasi pemandangan perjalanan kami menuju Istana Pagaruyung.

Tampak dari jalan raya, disuguhi pemandangan yang menyejukan mata serta larut dalam suasana yang begitu sejuk. Air terjun di pinggir jalan atau orang Minangkabau menyebutnya Lembah Anai.




Air terjun di pinggir jalan atau biasa disebut Lembah Anai mempunyai daya tarik tersendiri. Dimana posisi air terjun tepat berada disampin jalan raya dan diatasnya juga terdapat perlintasan kereta api. Pemandangan ini mungkin sangat jarang di dapat oleh orang.

Kami pun mengikuti jejak tersebut dan sampailah di Istana Pagaruyung dengan menempuh waktu kurang lebih 3 jam perjalanan. Gunung  Singgalang berdiri dengan kokohnya menjadi pemandangan kami, bahwa alam Minangkabau masih banyak yang alami dan harus dijaga keasliannya, sehabis itu kami menaiki jalan yang berbelok-belok dengan panorama bukit-bukit serta menyimpan sebuah keindahan tersendiri yaitu terdapat air terjun di pinggir jalan “ Air Terjun Lembah Anai “ dimana diatas jalan raya juga terdapat perlintasan kereta api yang jarang di dapatkan pemandangan seperti ini, juga kota di balik bukit dengan udara yang sangat sejuk yaitu Kota Serambi Mekah, Padang Pajang. Kami akhirnya tiba di Istana Pagarayun dengan membayar tiket masuk sebesar Rp 7.000, lalu kami memasuki perkarangan Istana dan melihat dalam Istana tersebut. Pada waktu dahulu kala Istana Pagarayung sempat terbakar tetapi semua peninggalan-peninggalan sebagian terselamatkan. Kami menyusuri dalam Istana dan terdapat ruang para Raja-raja serta seperti ruang tamu yang dindingnya di hiasi senjata-senjata para Raja. Perjalanan pun kami lanjutkan dengan menyusuri Tanjung Medan kembali.



Kompleks Istana Pagaruyung yang terletak di daerah Batu Sangka. Di tempat ini Syeikh Burhanuddin beserta rombongannya menghadap Raja Pagaruyung.

Ruang dalam Istana Pagaruyung yang masih terjaga sebagian keasliaannya, sebab dahulu kala Istana ini terbakar dan tidak melahap kesemuanya.

Tampak seperti ruang para Raja-raja untuk tempat beristirahat dan juga mungkin untuk ruang menerima tamu khusus para Raja-raja.

Peristiwa bersejarah itu pun telah menyebar ke seluruh pelosok Minangkabau, bahwa agama yang dibawa Syeikh Burhanuddin membawa masyarakat Minangkabau menjadi yang lebih baik serta kembali ke jalan yang lurus dan Islam berkembang dengan pesatnya, maka didirikanlah beberapa surau lagi untuk tempat mengaji dan Tanjung Medan telah menjadi pusat pendidikan agama Islam di alam Minangkabau serta berdirinya sebuah Fakultas Islam yang pertama di dalam sejarah Tanjung Medan khususnya dan Minangkabau pada umumnya. Tetapi seiring berkembanganya zaman, semua itu hanya tinggal kenangan saja, dan begitu juga telah menjadi kenyataan di dalam sejarah perkembangan agama Islam di Minangkabau dan Indonesia pada umumnya, bahwa Nagari Ulakan dengan Tanjung Medan telah mengambil bagian penting sekitar 290 tahun yang lalu, dari mana si’arnya agama Islam dipancarkan menembus dusun kota dan memenuhi alam Minangkabu sekarang ini.

Kompleks surau Tanjung Medan diperluas setelah Syeikh Burhanuddin melakukan pertemuan yang menghasilkan piagam Marapalam. Sehingga diperluas area Tanjung Medan dan Islam pun berkembang begitu pesatnya. Dan berdirinya Fakultas Islam yang pertama dalam sejarah perkembangan agama Islam di Minangkabau.

Idris Majolelo diangkat oleh Syeikh Burhanuddin menjadi khatib di Tanjung Medan dan sejak itu beliau dimashurkan dengan nama Khatib Majolelo. Dan tahun 1100 H, beliau mengadakan pertemuan besar di Tanjung Medan dengan Ninik Mamak, Labai dan Imam Khatib seluruh Ulakan, tujuannya adalah mengangkat khalifah yang akan menggantikan beliau karena beliau sudah mulai lemah dan pikirannya pun sudah berkurang.

41 tahun lamanya Syeikh Burhanuddin bekerja siang dan malam dalam mengembangkan ajaran agama Islam, sejak tahun 1070 H sampai tahun 1111 H, akhirnya pada hari Arba’a 10 Syafar tahun 1111 H, bertepatan dengan tahun 1691 M, Syeikh Burhanuddin berpulang ke rahmatullah menemui panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa di Tanjung Medan. Murid-murid beliau serta masyarakat Tanjun Medan dan Ulakan sekitarnya berduka cita, mencucurkan air mata.
Digalilah pusara (kuburan) untuk beliau yang berada tidak jauh dari surau tersebut, segala sesuatu telah disiapkan tetapi takdir mengatakan dengan lain, atas kehendak Yang Maha Kuasa, terdengarlah Shalawat atas Nabi yang bunyi sangat merdu sekali menusuk hati bagi orang yang mendengarnya. Semua yang berada di Tanjung Medan merasa heran dan ta’jub melihat peristiwa tersebut disebabkan oleh suara Shalawat atas Nabi yang kian lama kian menjauh bunyinya menuju suatu tempat bernama “ Padang Silagundi” dekat pantai Ulakan.

Teringatlah Idris akan pesan beliau pada masa lampau sewaktu bermalam di Padang Silagundi sekembali dari Tanah Serambi Mekah, Aceh yaitu “ Seandainya aku berpulang ke Rahmatullah di negeri ini nanti, maka disinilah tempat pusaraku “. Seketika itu beliau menanam sebatang ranting Cimpago Biru yang dibawa dari Aceh. Kemudian Idris Khatib Majolelo berseru kepada orang banyak agar membawa jenazah beliau mengikuti bunyi suara shalawat yang berakhir di Padang Silagundi, suaru tersebut berhenti dekat batang kayu yang ia tanam (Cimpago Biru). Di tempat itu akhirnya disemayamkan jasadnya Syeikh Burhanuddin yang sekarang bernama “ Maqam Syeikh Burhanuddin Ulakan “.

Dibelakang surau Tanjung Medan terdapat sebuah makam dan makam ini adalah makam pertama kali Syeikh Burhanuddin akan disemayamkan tetapi tidak jadi. Maka makam ini disebut Makam Si Bohong, sampai sekarang ini makam tersebut tidak ditumbuhi rumput.

Makam Si Bohong yang sampai saat ini bisa di lihat masyarakat luas dan dalam makam ini sampai sekarang tidak di tumbuhi rumput.

Kami menyusuri kembali perkomplekan surau Tanjung Medan dan akhirnya menemui sebuah makam kosong, masyarakat setempat menamakannya dengan makam si Bohong atau Kuburan si Bohong yang terletak dibelakang surau Tanjung Medan. Makam tersebut adalah makam pertama Syeikh Burhanuddin tetapi akhir di makamkan di Padang Silagundi, oleh karena itu makam tersebut tidak jadi dipakai, maka dinamai dengan Makam si Bohong yang sampai saat sekarang ini tidak ditumbuhi rumput. 

Kami pun beranjak dari Tanjung Medan menuju Padang Silagudin. Terlihat sangat jelas sekali pemandangan dan gemuruh ombak dari Pantai Ulakan ketika menuju makam Syeikh Burhanuddin yang bernama dahulu kala “ Padang Silagundi “ yang mebuat kami larut dalam suasana suka dan duka perjalanan kami. Tibalah di makam, kami kembali hening sejenak untuk menghormati serta mensyukuri atas jasa sang Syeikh Burhanuddin. Tampak makam beliau yang disamping kanan adalah Khatib Idris Majolelo, tengah adalah Syeikh Burhanuddin dan sebelah kiri Khalifah Abdurrahman. Lalu kami berdoa agar perjuangan beliau dalam menyebarluaskan agama Islam selalu diberi ampunan disisi Allah SWT. Sebelum berakhir perjalanan kami dalam menapaki jejak perjuangan Syeikh Burhanuddin, sempat singgah sebentar dimana tempat tersebut adalah Surau Pondok Ketek tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Syeikh Burhanuddin yang disimpan dalam peti diantaranya berupa baju, kopiah, ikat pinggang dan kitab Al-Qur’an. Semua barang tersebut masih utuh sampai sekarang. Diantara pakaian itu ada sepasang pakaian yang dibawa Syeikh Abdur Rauf dari Madinah kiriman Syeikh Ahmadul Qushashi untuk Syeikh Burhanuddin. Tetapi kami tidak bisa melihat peninggalan tersebut dikarenakan untuk melihatnya harus melakukan tahlil sebanyak 40 orang. Begitulah cara yang berlaku sampai sekarang untuk menjaga peninggalan bersejarah tersebut dan dipegang oleh keturunan Syeikh Burhanuddin bergelar Tuangku Khalifah pada Surau Pondok Ketek di desa Koto Panjang Ulakan yang tidak jauh dari makam Syeikh Burhanuddin.



Di Padang Silagundi akhirnya Syeikh Burhanuddin di semayamkan. Pada makam tersebut terdapat 3 makam yang dimana pada bagian tengah adalah makam Syeikh Burhanuddin, sebelah kanannya Idris Khatib Majolelo dan sebelah kiri adalah Abdurrahman, khalifah yang pertama dan meneruskan perjalanan serta ajara agama Islam yang dibawa oleh Syeikh Burhanuddin.

Bagian dalam kompleks Makam Syeikh Burhanuddin yang keasliaannya masih dijaga dengan baik oleh masyarakat Ulakan khususnya dan Pariaman umumnya.

Kini tinggal kenangan saja dan yang tersisa hanyalah perkomplekan Makam Syeikh Burhanuddin yang terlupakan sebagian banyak orang serta kurangnya kepedulian untuk menjaga serta melestarikan tempat bersejarah bagi Minangkabau umumnya.



Pemandangan dari luar Makam Syeikh Burhanuddin yang tampak seolah-olah sudah terlupakan dan seperti kurang perduli untuk mengurusnya.


Akhirnya perjalanan kami menapaki jejak Syeikh Burhanuddin berakhir di makam Syeikh Burhanuddin dan sore harinya kami pun meninggal alam Minangkabau yang masih terjaga keasliannya serta ramahnya masyarakat Nagari Ulakan.     





Tidak ada komentar:

Posting Komentar